Rihlah sorangan ke Banten Lama

10.05


Sekitar satu setengah tahun yang lalu aku memutuskan untuk pergi liburan ke banten lama. Niatnya mau eksplor sisa sisa kesultanan, masjidnya sih sebetulnya. Aku berangkat naik kereta dari angke jam 7an lalu turun di Karangantu jam setengah sebelas, harganya Rp8000. Sampai di sana aku ngecas hape dulu sambil ngadem karena di perjalanan tadi aku banyak ngechat seseorang dan colokan di kereta tidak kena aliran arus. Banten panas!

Setelah sekitar 30 menit aku keluar dari stasiun menuju masjid agung, melihat-lihat kawasan banten lama. Jalannya aspal bolong-bolong-bolong (saking banyaknya), banyak pasir beterbangan, panas bedenteng macam di padang tandus, dan yang paling mengejutkan adalah adanya Indomaret. Sultan Ageng kalau lewat sini pasti syok, mungkin diharapnya daerah sini sudah jadi macam Singapura -ternyata nggak :(. Di dekat Indomaret ada masjid bergaya tradisional yang aku lupa namanya, pokoknya konon sudah tua.
Di perjalanan aku melewati berpetak-petak sawah dan rumah rumah warga, juga bekas properti kesultanan yang sudah jadi situs sejarah di tengah-tengah sawah. Ada struktur dari bata merah berdiri di tengah area persawahan, mirip candi tapi bukan -soalnya orang islam.

Kulewati juga bekas properti Kesultanan lain yang paling mantab, keraton Surosowan, yang ada bentengnya. Keraton yang pintu teralis besinya digembok entah sama siapa, sehingga wisatawan macam saya tidak bisa masuk (harusnya, tapi bisa). Di samping benteng keraton berjejer warung warung dan juga tangga kayu untuk naik ke benteng dan masuk ke dalam. Aku coba naik tangga, ikutan seorang anak. Sampai di atas, kelihatanlah kawasan reruntuhan keraton dari pintu depan ke pintu belakangnya. Benteng itu sangat tebal, 3 meter lebih ada barang kali, jadinya kalau jalan tidak terlalu takut jatuh. 

Di dalam keraton, fasilitas yang tersisa ternyata cuman kolam renang dangkal; ada anak² yang beberapa telanjang berenang disana. Sisanya remah remah bangunan dan batu serta rerumputan. Keraton ini tidak membuatku tertarik, karena ia sudah tidak menarik, dan pemprov banten tampaknya tidak ada niatan bikin dia jadi menarik lagi. Aku turun lagi dari atas benteng melanjutkan perjalanan ke Masjid Agung.

Masjid Agung Banten. Mantap gaya gedungnya, persis kayak yang di buku paket IPS anak SD dan SMP. Kecuali gentengnya sudah diupgrade sehingga jadi licin dan mengkilat. Ohiya, ada satu bagian dari Masjid yang jarang diperhatikan para pembaca buku paket: lapangan alun-alun yang kebanyakan rumput tinggi, mungkin nanti bisa jadi padang ilalang. Berhubung sudah masuk zuhur, aku langsung menuju ke dalam masjid. Dari pintu masuk aku bertemu dengan segerombolan bapak-bapak berbaju koko yang menjaga kotak amal di depan gapura makam para sultan. Karena takut ditagih, aku memutar arah belok kiri ke serambi masjid yang dekat kolam ikan dan ada bedugnya. Kubuka sepatu dan menyimpannya dalam tas juga karena takut ditagih duit. Habis itu kuambil air wudu dengan kebingungan karena saat wudu cowo cewe kok malah nyampur. Selanjutnya seperti biasa saja, solat duduk-duduk keluar. Interior masjid tidak perlu kuceritakan, sudah banyak dibahas di tv. Berhubung masih ada 2 jam sebelum kereta ke Jakarta, aku memutuskan untuk mencoba jalan ke pantai.

Aku suka pantai soalnya di bandung tidak ada. Jadi dengan sok tahu jalan aku menelisik gang gang kampung nelayan mencari pasir pantai. Ngga ada. Serius. Paling cuma pohon kelapa sama balong warga. Eh engga deng, aku ketemu benteng belanda yang namanya Spelwijk.

Benteng ini asli dibangun dari balok-balok batu karang, bisa dilihat dari adanya motif kerang laut. Bagian dalamnya sudah jadi padang rumput yang dipakai ibu-ibu penggembala untuk bikin senang dan kenyang kambingnya. Di sudut benteng kutemui sekian pasang anak-anak SMA berbahasa gue elo lagi mojok berpacaran, sedangkan di sudut sisi luar kutemui mas-mas pemburu di dalan mobil jeep memainkan senapan angin menghadap perpohonan kelapa di depan benteng. Benteng ini jauh lebih kuburan daripada Surosowan... mampus kau Belanda! Karena ku berorientasi pantai, kulanjutkan perjalanan lagi. Kulewati lagi satu klenteng Cina dan perkampungan warga... sampai akhirnya mentok di balong dan memutar balik.

Kucoba jalan lain ke arah pelabuhan, supaya bisa sekalian pulang. Di jalan ku berpapasan dengan kuburan tokoh kesultanan, lupa aku namanya. Sambil iseng, kucoba belok kiri ke arah laut jawa, siapa tahu bisa bertemu pantai.

Aku ikut peta melulu, maka kulewati tambak garam dan tambak ikan. Itu salah satu hal goblok yang pernah kulakukan selain sok sokan ke sawah pas abis pulang sekolah waktu sd dulu. Tambaknya lucu, ada ikan yang bisa terbang dan ada kerang² kerucut mendep di sana. Sepatuku kena tanah yang kalau mengering akan ada berkas putih garam. Entah gimana, aku sampai ke pantai pendek yang lebih banyak pohon² anehnya daripada pasirnya. Tapi aku puas, pertama kali aku nyentuh air laut dan pasir pantai yang warna merah --bebrapa anak yang lagi berenang di sana menatapku aneh soalnya aku pake setelan kausal#kasual. Mengenai pohon² aneh tadi, baru kemarin aku tahu namanya adalah pohon bakau.

Pas mau balik dari pantai, datanglah celaka. Aku lupa tadi lewat rute apa di tambak. Muter-muterlah di sana setengah jam; berbeda dengan sawah yang lu bisa injek kalau kepepet, nginjek tambak ikan itu pasti bakal lucu banget. 

Walhamdulillah, aku bertemu kakek penggembala kambing yang menunjukkan jalan dengan bahasa sunda (kok bahasa sunda?).

Lalu berjalanlah aku sampai stasiun karangantu lagi untuk balik ke angke.

You Might Also Like

0 komentar

Pos Masyhur

Facebookna di-add nya!

instagram